Halaman

Kisah Angsa Dan Telur Emas


Tersebutlah di jaman dahulu, hiduplah seorang petani miskin yang mempunyai seekor angsa yang sangat cantik. Petani itu merwat si angsa dengan baik hingga suatu hari pada saat petani tersebut mendatangi kandang angsa, sang Angsa telah menelurkan sebuah telur emas yang berkilauan.

Petani tersebut mengambil dan membawa telur emas tersebut ke pasar dan menjualnya. Kejadian yang sama terulang untuk hari-hari berikutnya, sehingga dalam waktu yang singkat petani tersebut mulai menjadi kaya. Tetapi tidak lama kemudian keserakahan dan ketidak-sabaran petani itu terhadap sang Angsa muncul karena sang Angsa hanya memberikan sebuah telur setiap hari. Sang Petani merasa dia tidak akan cepat menjadi kaya dengan cara begitu.


Suatu hari, setelah menghitung uangnya, sebuah gagasan muncul di kepala petani, gagasan bahwa dia akan mendapatkan semua telur emas sang Angsa sekaligus dengan cara memotong sang Angsa. Tetapi ketika gagasan tersebut dilaksanakan, tidak ada sebuah telur yang dapat dia temukan, dan angsanya yang sangat berharga terlanjur mati dipotong.

Jadi pembelajaran yang dapat kita teladani dari dongeng angsa dan telur emas ini adalah :

Barang siapa yang telah memiliki sesuatu dengan berlimpah, tetapi serakah dan menginginkan yang lebih lagi, akan kehilangan semua yang dimilikinya. Maka bersyukurlah dengan segala sesuatu yang kita miliki.
Baca selengkapnya

MALIN KUNDANG



Pada zaman dahulu di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di daerah Padang, Sumatera Barat hiduplah seorang janda bernama Mande Rubayah bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang. Mande Rubayah amat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang. Malin adalah seorang anak yang rajin dan penurut.

Mande Rubayah sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk mencupi kebutuhan ia dan anak tunggalnya. Suatu hari, Malin jatuh-sakit. Sakit yang amat keras, nyawanya hampir melayang namun akhirnya ia dapat diseiamatkan-berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia semakin disayang. Mereka adalah ibu dan anak yang saling menyayangi. Kini, Malin sudah dewasa ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke kota, karena saat itu sedang ada kapal besar merapat di Pantai Air Manis.

"Jangan Malin, ibu takut terjadi sesuatu denganmu di tanah rantau sana. Menetaplah saja di sini, temani ibu," ucap ibunya sedih setelah mendengar keinginan Malin yang ingin merantau.

"Ibu tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa denganku," kata Malin sambil menggenggam tangan ibunya. "Ini kesempatan Bu, kerena belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Aku ingin mengubah nasib kita Bu, izinkanlah" pinta Malin memohon.

"Baiklah, ibu izinkan. Cepatlah kembali, ibu akan selalu menunggumu Nak," kata ibunya sambil menangis. Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengizinkan anaknya pergi. Kemudian Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus, "Untuk bekalmu di perjalanan," katanya sambil menyerahkannya pada Malin. Setelah itu berangkatiah Malin Kundang ke tanah rantau meninggalkan ibunya sendirian.

Hari-hari terus berlalu, hari yang terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut, "Sudah sampai manakah kamu berlayar Nak?" tanyanya dalam hati sambil terus memandang laut. la selalu mendo'akan anaknya agar selalu selamat dan cepat kembali.





Beberapa waktu kemudian jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. "Apakah kalian melihat anakku, Malin? Apakah dia baik-baik saja? Kapan ia pulang?" tanyanya. Namun setiap ia bertanya pada awak kapal atau nahkoda tidak pernah mendapatkan jawaban. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya.

Bertahun-tahun Mande Rubayah terus bertanya namun tak pernah ada jawaban hingga tubuhnya semakin tua, kini ia jalannya mulai terbungkuk-bungkuk. Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda dulu membawa Malin, nahkoda itu memberi kabar bahagia pada Mande Rubayah.

"Mande, tahukah kau, anakmu kini telah menikah dengan gadis cantik, putri seorang bangsawan yang sangat kaya raya," ucapnya saat itu.

Mande Rubayah amat gembira mendengar hal itu, ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya, sinar keceriaan mulai mengampirinya kembali. Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin dari nahkoda itu, Malin tak kunjung kembali untuk menengoknya.

"Malin cepatlah pulang kemari Nak, ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang...," rintihnya pilu setiap malam. Ia yakin anaknya pasti datang. Benar saja tak berapa lama kemudian di suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang megah nan indah berlayar menuju pantai. Orang kampung berkumpul, mereka mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.

Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang anak muda berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkiiauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum karena bahagia disambut dengan meriah. Mande Rubayah juga ikut berdesakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras saat melihat lelaki muda yang berada di kapal itu, ia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anaknya, Malin Kundang. Belum sempat para sesepuh kampung menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. la langsung memeluknya erat, ia takut kehilangan anaknya lagi.

"Malin, anakku. Kau benar anakku kan?" katanya menahan isak tangis karena gembira, "Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?"

Malin terkejut karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang—camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Sebelum dia sempat berpikir berbicara, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, "Wanita jelek inikah ibumu? Mengapa dahulu kau bohong padaku!" ucapnya sinis, "Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah seorang bangsawan yang sederajat denganku?!"

Mendengar kata-kata pedas istrinya, Malin Kundang langsung mendorong ibunya hingga terguling ke pasir, "Wanita gila! Aku bukan anakmu!" ucapnya kasar.

Mande Rubayah tidak percaya akan perilaku anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, "Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi seperti ini Nak?!" Malin Kundang tidak memperdulikan perkataan ibunya. Dia tidak akan mengakui ibunya. la malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, "Hai, wanita gila! lbuku tidak seperti engkau! Melarat dan kotor!" Wanita tua itu terkapar di pasir, menangis, dan sakit hati.

span style="font-family: "verdana" , sans-serif;">
Orang-orang yang meilhatnya ikut terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi. Dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Ia tak menyangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian. Hatinya perih dan sakit, lalu tangannya ditengadahkannya ke langit. Ia kemudian berdoa dengan hatinya yang pilu, "Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku maafhan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku yang bernama Malin Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!" ucapnya pilu sambil menangis. Tak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya. Tiba-tiba datanglah badai besar, menghantam kapal Malin Kundang. Laiu sambaran petir yang menggelegar. Saat itu juga kapal hancur berkeping- keping. Kemudian terbawa ombak hingga ke pantai.

Esoknya saat matahari pagi muncul di ufuk timur, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang! Tampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu karena telah durhaka. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.

Sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia, terkadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri, "Ampun, Bu...! Ampuun!" konon itulah suara si Malin Kundang, anak yang durhaka pada ibunya.

sumber : dongengceritarakyat.com

Pesan moral dari Cerita Dongeng Malin Kundang adalah Hormatilah ibumu dan jangan perna mendurhakainya.

Baca selengkapnya

HIKAYAT KERBAU DAN SAPI YANG BERTUKAR KULIT



Pada suatu masa, ada kerbau dan sapi yang bersahabat. Sapi berkulit hitam kecoklatan sementara kerbau berkulit putih. Pada suatu hari, datanglah pendatang baru di sebuah padang rumput, ia adalah banteng yang memiliki tanduk runcing. Ia terlihat sangat gagah dan membuat rapi betina kagum terhadapnya.

Kabar adanya banteng gagah tersebut tersebar dengan sangat cepat. Ia pun menjadi primadona. Sapi jantan yang warnanya hitam kecoklatan tak begitu peduli. Namun, si karbau justru merasa iri dan cemburu kepada banteng tersebut.




Ia berkata, “Apa sih hebatnya dia? Aku juga mempunyai tanduk yang besar dan runcing. Badan juga gagah. Cuma hanya berbeda warna kulit saja. Seandainya kulitku hitam aku pasti lebih gagah dibandingkan banteng itu”.

Ia pun memiliki ide untuk mengubah warna kulitnya. Ia pun mendatangi sapi yang tengah berendam di sungai. Ia pun merayu sapi agar ia mau bertukar kulit. Namun, sapi tetap enggan karena ia bersyukur dengan nikmat Tuhan.

Kerbau tetap saja membujuk sapi dan memohon atas nama persahabatan. Sapi pun akhirnya kasihan dan bersedia tukar warna kulit. Namun, sapi memberi syarat bahwa sesudah bertukar, kerbau harus bersyukur dengan apa yang dimiliki. Tanpa berfikir panjang, kerbau akhirnya menyanggupi.

Akhirnya mereka bertukar kulit, namun ternyata kulit si sapi terlalu kecil dan sempit untuk kerbau yang besar. Sehingga pakainnya terasa sesak. Sementara kulit kerbau yang dipakai oleh sapi kebesaran. Lantaran merasa kurang nyaman dengan kulitnya tersebut, kerbau kembali mengajak sapi bertukar. Namun, sapi tidak mau.

Akhirnya, kerbau merengek kepada sapi minta bertukar kulit dimanapun mereka bertemu. Namun, tetap saja sapi tidak mau bertukar. Akhirnya, sang kerbau menyesal karena sudah tidak mensyukuri apa yang ia dapatkan dari Tuhannya. Padahal itu adalah yang terbaik untuknya.

sumber : thegorbalsla.com
Baca selengkapnya

RAJA BIJAK MENGUJI RAKYATNYA



Pada suatu ketika, terdapat seorang raja bijaksana yang hendak menguji kerajinan serta kepedulian dari rakyat. Raja secara diam-diam menaruh batu di tengah jalan yang kerap dilewati orang. Ini ia lakukan di sore hari. Batu tersebut persis diletakkan di tengah jalan dan tentu saja sangat tidak enak dilihat serta menghadang langkah orang yang melewatinya.

Raja tersebut sengaja hendak mengetahui sikap rakyat yang berjalan di jalanan tersebut. Ada seorang petani dengan gerobak nya yang membawa bawaan penuh. Karena batu tersebut menghalangi jalan, maka ia mengomel dan marah. Ia pun membelokkan gerobak untuk menghindari batu itu.

Sesudah itu, seorang prajurit lewat sembari bernyanyi mengenai keberanian dia di medan perang. Karena ia kurang melihat jalan, maka ia pun tersandung batunya. Ia pun marah-marah dan mengeluarkan pedang tanpa melakukan suatu tindakan apapun untuk menyingkirkan batu tersebut. Bahkan, dia malah melangkahi batu tersebut.

baca juga :



Tidak lama sesudah itu, salah seorang pemuda miskin yang membawa gerobak juga lewat jalan tersebut. Saat melihat batu tersebut, dalam hati ia berkata, “Hari sudah semakin gelap, jika orang-orang melewati jalan ini dan mereka tidak berhati-hati, maka mereka akan tersandung dan celaka”.

Meski ia sudah bekerja dengan sangat keras seharian, namun pemuda yang melintasi batu tersebut mencoba untuk memindahkan batu dengan amat susah payah ke pinggiran jalan. Namun, ia sangat terkejut ketika melihat ada benda yang ditanam di bawah batu tersebut.

Terdapat sepucuk surat yang bunyinya adalah, “Untuk rakyatku yang sudah ikhlas memindahkan batu penghalang di sini. Dikarenakan engkau adalah orang yang peduli dan rajin, maka terimalah lima kepingan emas dariku sebagai hadiah di dalam kotak ini. Dari rajamu”.

Akhirnya, pemuda miskin tersebut mengucapkan syukur kepada Tuhan dan juga memuji betapa dermawan rajanya. Peristiwa tersebut akhirnya mampu menggemparkan semua negeri. Di sini raja memang sudah mengajarkan pelajaran penting mengenai nilai kerajinan dan kepedulian terhadap sesama manusia.

sumber : thegorbalsla.com
Baca selengkapnya